MUROWANA VS NALANEKI; Ketika Cinta Terhalang Tradisi

1 Juli 2024, 06:00 WIB
/

 

SuaraLamaholot.com - MUROWANA vs NALANEKI; sungguh menarik dan menggelitik membaca judul film ini, sebuah film lokal yang diproduksi oleh Komunitas Sinema Ganks Waibalun yang lebih suka malebeli karya mereka dengan sebutan film kampung. 

 

Lalu apa itu MUROWANA?

Murowana berasal dari dua kata; muro yang berarti benar, dan wana berarti kanan. Sebaliknya, nala berarti salah, neki berarti kiri. Secara sederhana Murowana adalah sebuah tradisi penentuan jodoh ataupun pasangan berdasarkan aturan adat yang disebut likat telo atau tiga tungku yang secara khusus dijalankan komunitas adat di Waibalun, sebuah kampung pesisir di Larantuka, Flores Timur. Jadi, memilih jodoh atau pasangan di Waibalun memang dianjurkan sesuai dengan tatanan aturan adat dimaksud. Bila tidak sesuai aturan adat, ya sederhananya disebut Nalaneki. 

Baca Juga: Indonesia Sudah Merdeka tapi Jalan, Air Bersih & Internet di Desa Babulu Kabupaten Malaka Belum 'Merdeka'

Menurut sang sutradara sekaligus penulis ceritanya, Berrye Tukan, Murowana memang bukan sebuah keharusan, namun sebatas anjuran dan himbauan semata. “Kalau jodohnya tidak sesuai murowana, ya tidak apa-apa juga. Ini khan soal cinta dan perasaan, itu hak masing-masing orang. Namun, dengan memilih jodoh secara murowana, urusan adat selanjutnya akan lebih mudah dan gampang. Itu saja sih,” sebutnya. 

 

Terus, kisahnya tentang apa sih?

Menurut sang sutradara, film ini kisahnya sederhana saja, tentang sepasang orang tua yang ingin anak laki-lakinya memilih istri sesuai aturan murowana ini, namun sayang anaknya justru sudah memiliki pasangan lainnya. “Tapi ceritanya tidak sesederhana murowana itu saja, namun ada juga hal-hal lain yang menjadi isu menarik, misalnya tentang keluarga, hubungan orang tua dan anak, dan lainnya,” jelasnya. 

 

Selain Murowana Vs Nalaneki, jelas Berrye- Komunitas Sinema Ganks ini sendiri sudah menghasilkan tiga film meski masih sebatas film bercita rasa kampung ; Balada Belida (2020) yang bercerita tentang kehidupan sepasang nelayan yang belum dikarunia anak lalu berhadapan dengan sang ibu yang selalu terlhat tidak adil kepada anak-anaknya, lalu ada film Wawe Titen (2023) yang mengangkat kebiasaan masyarakat lokal yang selalu memelihara babi sebagai salah satu usaha ekonomi dan juga sebagai prestise kala ada hajatan. Selain film fiksi, Berrye juga pernah menyutradarai film bergenre dokumenter yakni Keluba Terakhir dari Lewolere bersama KarTa Lewolere –yang mengangkat kisah perjuangan orang-orang hebat terutama para wanita dari Lewolere di jaman dahulu yang hidup dari berjualan berbagai tembikar dari tanah liat. 

 

“Khusus cerita-cerita dalam film fiksi ini semuanya diangkat dari pengalaman sehari-hari masyarakat, dan dibalut dengan aneka komedi yang menggelitik namun kadang juga ada kritik sosialnya juga, haha, ...” ungkapnya. 

 

Berrye pun menuturkan bahwa karya-karya film yang dibuatnya memang masih sangat ‘lokal dan kampung’ dalam keseluruhan prosesnya. “Yang bikin ya kita-kita sendiri, teman-teman dengan bakat akting yang ada, dengan peralatan seadanya, editing yang seadanya, bahkan tidak ada produsernya. Semua kita kerjakan seadanya, ala kampung lah. Jadi, kalau keseluruhannya, kualitasnya memang masih sangat kampung-lah, tapi tidak kampungan-lah, haha ...” ceritanya.

 

Menurutnya pula karya film lokal yang mereka buat sejauh ini mendapat apresiasi dan perhatian yang cukup besar dari masyarakat. Paling tidak, menurutnya- itu terlihat dari animo masyarakat yang menyaksikan.

 

“Kami sudah dua kali bikin tayang perdananya, Balada Belida dan Wawe Titen di Waibalun saja. Kami senang karena banyak yang datang nonton; tertawa  dan gembira bersama. Itulah kepuasan kami, merasakan atmosfir dan suasana yang nyata bersama penonton dan masyarakat. Kami senang ketika sedang menonton, orang bilang, wah ini cerita tentang kita. Ya, kita sedang menonton diri kita, dan menertawakan kita sendiri, ini sensasi dan kepuasan yang tidak didapatkan di Youtube, anda hanya membaca komentar, tapi suasananya tidak ada. Kita ini pembuat film, bukan konten kreator-lah. Yang kita ingin adalah makna dan suasanya, bukan monetisasi, itu mungkin kemudian, hahaa..” terangnya sedikit idealis. 

 

Ke depannya, Berrye bermimpi bahwa sudah saatnya film-film lokal bercita rasa kampung ini mendapat tempat yang layak di dunia hiburan masyarakat. “Saya mau bahwa cerita-cerita ini mengajak kita untuk melihat kembali kehidupan kita, bahwa ada yang perlu kita diskusikan dan sikapi, itu akan lebih baik lagi. Film lokal harus dikerjakan dan dinikmati secara lokal pula, secara bersama dengan suasana yang benar-benar lokal, namun berpikirnya harus sudah global. Selanjutnya, para seniman lokal termasuk para aktor fiilm lokal ini pun mendapat nilai ekonomis dari karya yang dihasilkan. Saatnya karya-karya seniman lokal mendapat apresiasi dari masyarakat lokal sendiri,” ungkapnya. 

 

Murowana vs Nalaneki ini rencananya akan ditayangkan secara perdana pada bulan Agustus 2024 mendatang di Waibalun, bertepatan dengan perayaan Kemerdekaan RI ke 79.  

 

Penasaran dengan jalan ceritanya? Catat tanggalnya dan jangan lupa beli tiketnya! Haha... 

 

MUROWANA VS NALANEKI 

Sutradara/Penulis Cerita : Berrye Tukan

Baca Juga: Video Jenazah Bayi di Pulau Solor Flores Timur, Ditutup Sehelai Kain

Pemeran : Tomy Kedang, Lety Balun, Tari Kromen, Yako Tukan, Nia Tukan, Elmy Tukan.***

 

Editor: Vinsensius P. Huler

Tags

Terkini

Terpopuler