Network
Konsistensi yang dibangun para jurnalis pada media ini turut menjadikan Suara Lamaholot eksis hingga berumur setahun ini. Meski baru setahun puncak pucuk hampir juga diraihnya. Sebab dia lahir dari doa dan air mata para jurnalis yang mengimpikan idealisme, kebenaran, keberimbangan, kejujuran, dan membangun lapangan pekerjaan baru.
Nama Suara Lamaholot merupakan sajak lepas yang meruang dan sakral. 'Lamaholot' merupakan aksentuasi identitas yang tak tercerabut dari akar budaya. Indentitas ini yang mau dijual oleh para penulis sekelas Vinsen Huler, Ama Boro, Eman Bataona, dan didukung oleh gagasan pemikir, penyair dan jurnalis cerdas Ama Yurgo Purab serta CEO. Bahwa meski suara yang memekik jauh sekalipun nama dan identitas kultur budaya Lamaholot mesti dibranding terus agar menjadi suling yang menciptakan harmoni bagi seluruh tatanan semesta.
Suara Lamaholot tidak lahir tanpa pegangan. Dia lahir dari doa dan adat. Dia lahir dari kerinduan menciptakan sejarah anak muda mesti membangun lapangan pekerjaan sendiri. Dia hidup dan dibesarkan dari kerja keras, air mata dan perjalanan yang tak biasa.
Ada tantangan, ocehan, celana dan komedi di dalam ruang bertukar pandang tapi dia tidak akan mati dan goyah karena dia lahir, hidup dan didoakan. "Doakan apa yang kau kerjakan, kerjakan apa yang kau doakan".
Saya melihat selama setahun ini Suara Lamaholot terbit sebagai media orang kecil, media penyalur aspirasi para guru dan ruang kreativitas siapa saja. Buktinya, Suara Lamaholot membuka ruang bagi guru, akademi, dan siapa saja boleh bertukar pandang di media tersebut. Tulisan-tulisan mereka menjadi penyegar media ini sekaligus membetulkan ingatan publik bahwa menulis adalah keasyikan bercumbu dengan bahasa.
