Suara Lamaholot.com - Laut China Selatan merupakan jalur perairan strategi yang menjadi rute perdagangan internasional senilai tiga triliun dolar AS (sekitar Rp 45 kuadriliun) setiap tahunnya.
Jalur itu diteliti memiliki potensi energi seperti mineral dan cadangan minyak dan gas yang kaya sehingga tak bisa dipungkiri banyak pihak yang memperebutkan wilayah tersebut. Sebagaimana dikutip dari Antara 17 Juli 2023.
China mengeklaim hampir 80 persen Laut China Selatan dengan pendakian sembilan garis putus-putus pada peta yang membentang lebih dari 1.500 km dari daratannya hingga memotong zona ekonomi eksklusif (ZEE) Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Indonesia.
Baca Juga: Menkominfo Budi Arie: Presiden Jokowi Berpesan untuk Fokus Selesaikan Proyek BTS 4G Tahun 2020-2024
Namun, Pengadilan Arbitrase Internasional pada 2016 menolak klaim teritorial China atas Laut China Selatan karena tidak memiliki dasar hukum.
Meski begitu, keputusan tersebut tak mampu menghentikan China untuk terus melakukan aktivitasnya di Laut China Selatan.
Termasuk membangun pulau-pulau reklamasi dan berbagai aktivitas lain yang disebut melanggar kedaulatan wilayah negara lain, yang membuat hubungan Beijing dan negara-negara kawasan ASEAN memanas.
Baca Juga: Tahanan Polres Banyumas Tewas di Dalam Sel Tahanan, Apa Penyebabnya?
Kesepakatan ASEAN-China
Selama bertahun-tahun, kesatuan ASEAN diuji oleh sengketa di Laut China Selatan.
ASEAN dan China telah sejak lama berusaha merumuskan pedoman tata perilaku (Code of Conduct/CoC) yang mengikat secara hukum guna menghindari konflik antarnegara yang saling bersengketa di wilayah tersebut.