Manusia Kera Tegak, dan Alat Batu “Paleolitik Awal” di Flores & Timor

24 November 2023, 10:03 WIB
Homo erectus /Sumber foto Instagram/@archaeology_id

 

 

 

SuaraLamaholot.com- Eugène Dubois, seorang ahli bedah berkebangsaan Belanda, menemukan individu Homo erectus pertama (Trinil 2) di Indonesia pada tahun 1891. Pada tahun 1894, Dubois menamai spesies tersebut Pithecanthropus erectus, atau 'manusia kera tegak.' Saat itu, Pithecanthropus ( kemudian diubah menjadi Homo) erectus adalah spesies manusia purba yang paling primitif dan berotak terkecil yang diketahui; belum ada fosil manusia purba yang ditemukan di Afrika.

Kepulauan Indonesia pada awalnya dihuni oleh manusia purba yang disebut dengan Homo erectus. 

Nenek moyang manusia Indonesia tersebut diperkirakan hidup 1,5 juta tahun yang lampau di Pulau Jawa yang bermigrasi dari benua Afrika. 

Baca Juga: Homo Erectus Spesies Manusia Purba Paling Primitif dan Berotak Terkecil

Perjalanan manusia purba ini tidaklah singkat, tetapi melalui proses yang sangat panjang yaitu dari generasi ke generasi melintasi benua Asia dan beradaptasi dengan berbagai lingkungan hingga akhirnya tiba dan menghuni serangkaian pulau di selatan Kepulauan Indonesia, dari Jawa hingga ke Flores.

Teknologi adalah salah satu unsur budaya manusia yang memegang peran penting dalam proses evolusi manusia. Berkat teknologi, manusia mampu berkompetisi dengan makhluk lain dan berhasil mengatasi seleksi alam. Bahkan melalui teknologi, manusia kemudian mampu menguasai alam. Manusia purba Indonesia meninggalkan beberapa bukti teknologi berupa artefak alat-alat batu sederhana. seperti bola batu, alat-alat serpih (flakes), kapak pembelah (cleaver), serut (scraper) serta kapak batu.

Sejumlah perkakas batu yang telah diidentifikasi oleh para arkeolog sebagai karya manusia purba, ditemukan antara lain di Pacitan, Sangiran, Ngandong (Jawa Tengah), kemudian di luar Jawa yaitu Cabengge (Sulawesi Selatan), dan daratan Flores Tengah dan Barat. Sesungguhnya situs-situs paleolitik di Indonesia sudah cukup banyak ditemukan, namun yang akan dibahas meliputi wilayah Pacitan, Sangiran dan Ngandong di Jawa, Sulawesi hingga Flores terlebih dahulu.

1. Flores dan Timor Menyimpan Alat Batu “Paleolitik Awal”

Daya tarik lain tentu saja bukti-bukti arkeologi berupa fosil manusia purba Homo floresiensis beserta perkakas batunya yang terkubur di Liang Bua. Pada tahun 2016 di daratan Flores, NTT yaitu Situs Mata Menge yang berada di Cekungan Soa, kita kembali dikejutkan dengan penemuan fosil manusia purba yang setara dengan situs Sangiran di Jawa.

Laporan Maringer dan Verhoeven yang muncul pada tahun 1970 cukup mengejutkan dunia arkeologi. Daerah yang dilaporkan adalah di situs padang kering Lembah Mengeruda yang menyingkap sejumlah alat-alat batu purba bersama fosil stegodon. Temuan alat batu tersebut menyerupai atau dapat disejajarkan temuan-temuan alat batu dari Pacitan, Sangiran dan Sulawesi. Kemudian suatu ekpedisi di tahun 1991-1992 yang mengunjungi jejak penelitian Verhoeven dan Maringer di sekitar Situs Mata Menge, dan penelitian itu menemukan alat-alat batu serpih dari bahan batu rijang dan basalt yang dipastikan sebagai hasil karya manusia purba (Homo erectus).

Dari penelitian selanjutnya di daratan Flores Tengah, berbagai bukti temuan artefak batu (alat-alat masif dan serpih) serta fosil-fosil tulang fauna (Stegodon pigmy, Crocodillus dan Geochelonidae) bermunculan dan ditemukan oleh para peneliti di kotak penggalian di Situs Kobatua. Bukti temuan ini merupakan data baru yang penting, karena hasil pengamatan dan analisis stratigrafi, menunjukkan adanya data umur yang diprediksi bertarikh lebih dari 1 juta tahun lalu. Data temuan umur alat batu tertua di Cekungan Soa yaitu Situs Wolosege berumur 1.02 juta tahun lalu dalam Brumm (2010). Menurut para peneliti kepunahan manusia purba beserta faunanya di Soa ketika itu, diakibatkan oleh terjadinya bencana alam dengan meletusnya sejumlah gunung berapi di Flores.

2. Alat Batu Purba dari Pacitan

Menurut para peneliti terdahulu, perkakas batu yang ditemukan di Pacitan berasal dari lembah Baksoko yang telah mengalami pengikisan. Ditemukan pada lapisan teras sungai yang terletak pada ketinggian sekitar 15-20 m di atas aliran sungai yang telah diendapkan dari dasar aliran sungai sekarang. Alat-alat batu itu dibuat menggunakan bahan dari batuan tufa kersikan (silicified tuff), batugamping kersikan (silicified limestone), dan fosil kayu. Pada umumnya temuan itu terdiri dari kapak genggam, serut berpunggung tinggi dan bersudut tajaman tinggi, dan sejumlah alat serpih berukuran besar. Hallam L. Movius dalam Soejono (1984) menyebut temuan alat-alat batu dari Kali Baksoko sebagai 'Chopper-Chopping tool Complex' atau dikenal sebagai budaya Pacitan atau 'Pacitanian' yaitu salah satu pusat persebaran industri alat-alat batu tua di Asia. Menurut Bastra (1989), temuan alat-alat batu dari Baksoko diduga berasal dari Kala Pleistosen Atas (akhir) dan masih ada korelasinya dengan Homo erectus.

3. Alat Batu Serpih Sangiran

Penelitian Koenigswald pada tahun 1934 di Kubah Sangiran (Koenigswald & Ghost, 1973) menyebutkan adanya sejumlah temuan alat serpih dari batu jasper dan kalsedon yang telah mengalami pembulatan dan berkerak (patina) ditemukan di kubah Sangiran. Bentuk dan ukuran atefak batu tersebut sangat berbeda dengan temuan dari Kali Baksoko, terdiri dari alat-alat yang relatif berukuran kecil sekali, bahkan di bawah ukuran rata-rata alat-alat serpih yang umum ditemukan. Tidak ada batu inti dan alat kerakal, hanya alat serpih kecil bertajaman miring. Awalnya GHR. von Koenigswald (1936) menyebut temuan alat-alat serpih di bukit Ngebung, Sangiran tersebut sebagai 'Sangiran flakes industry' (Koenigswald & Ghost, 1973).

Temuan-temuan di atas itu kemudian banyak dibicarakan oleh para ahli, karena terjadi perbedaan pendapat mengenai asal usul endapannya. Ada yang menyebutkan berada pada kala Pleistosen Tengah dan ada pula di Pleistosen Akhir.

Di tahun 1992 dan 1995 kembali disorot temuan alat-alat batu serpih Sangiran, karena penggalian yang dilakukan di lapisan Kabuh antara 4,5 dan 9 meter di atas Grenzbank di Ngebung dipastikan bertarikh Kala Pleistosen Tengah. Penggalian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional bekerjasama dengan MNHN sekitar tahun 1992/1995 mendapatkan alat-alat batu antara lain berupa bola batu, kapak pembelah (cleaver) dan batu pukul dari kuarsa. Alat batu yang ditemukan terdiri dari batu inti berukuran kecil, bersama serpih kecil dan bilah. Disebutkan juga ditemukannya bola batu dan batu pemukul dari kuarsa. Menurut pendapat peneliti senior Pusat Penelitian Arkeologi Nasional yaitu Truman Simanjuntak ketika itu, “buktinya memang sedikit, tetapi saya tidak meragukan kebenarannya, bahwa Homo erectus telah membuat perkakas alat batu walau ukurannya tidak massif”.

4. Perkakas Batu Dari Ngandong

Beberapa peneliti pernah melaporkan adanya temuan alat-alat batu dan tulang yang berasosiasi dengan fosil-fosil manusia. Temuan itu antara lain serut batu ukuran kecil dan serpih kalsedon berbentuk segi tiga. Laporan lainnya menyebutkan penemuan alat tulang dan tanduk. Sebuah temuan cukup unik juga didapatkan berupa harpun yang bergerigi di kedua sisinya. Temuan-temuan di atas disebutkan berdekatan dengan fosil S.VI. Diskusi panjang terus berlangsung diantara para penemu dengan silang pendapat dan bergelut dengan argumentasinya masing-masing. Namun sayangnya, bukti-bukti di atas tidak berhasil menyakinkan para peneliti, malah kemudian diragukan. Penemuan dua alat batu yang oleh Tim Jacob (Sartono, 1979), justru berhasil membuktikan bahwa temuan itu berasal dari endapan kerikil dari akhir Kala Pleistosen Tengah yang diperkirakan sejaman dengan lapisan yang menghasilkan fosil tengkorak Homo erectus. Alat batu yang ditemukan itu berbahan batuan andesit basalt dan diidentifikasi adanya pembulatan. Secara morfologi teknologi alat itu adalah kapak penetak dan serpih yang diretus. Kedua temuan tersebut di atas adalah bukti kuat bahwa Homo erectus Jawa telah membuat alat-alat kerja dari jenis batuan-batuan dengan kekerasan tertentu.

 5. Alat Batu dari Cabbenge, Sulawesi Selatan

Sampai saat ini memang belum ada kesepakatan dari para ahli, untuk mengelompokkan alat-alat batu yang ditemukan di teras-teras sungai Wallanae, apakah dari kala Pleistosen ataukah Holosen. Hal ini disebabkan masih terbatasnya penelitian yang terkait dengan krono-statigrafi. Interpretasi terdahulu menyebutkan bahwa alat-alat batu yang berpatinasi dan berasosiasi dengan tulang-tulang fauna diduga kedudukannya pada Kala Pliosen Akhir. Namun pendapat itu dibantah oleh penelitian geologis yang dilakukan oleh Tim Sartono ketika itu (1976) dalam Sartono (1979). Kemudian Bastra (1977) memberi dukungan atas alat-alat berpatina yang ditemukan di lapisan kerikil pada teras sungai yang tertinggi, yaitu lebih tua dibanding dengan alat-alat batu Toala yang ditemukan dekat sungai. Deskripsi Soejono mengenai temuan alat-alat batu Cabengge meliputi serpih kecil tapi tebal, batu inti yang masif, kapak genggam, dan alat batu berbentuk serut berpunggung tinggi tipe Tapal Kuda (horse-hoof type).

Referensi

Bartstra, G.J. 1977. Walanae Formation and Walanae Terrace in The Study of South Sulawesi. Quartar 27 : 8 – 21

Bartstra, G.J. 1978. The Pacitan Culture : A Preliminary Report on New. Early Paleolithic in South and East Asia F. Ikawa-Smith (ed) Early Paleolithic in South and East Asia

Bartstra, G.J. 1989. Recent Work on the Pleistocene and Palaeolithic of Java. Jurnal ANTHROPOLOGY Vol. 30, No. 2

Bellwood, P. 1986. Prehistory of the Indo-Malaysian Archipelago. Academic Press Australia.

Brumm, Adam, Gitte M. Jensen, GD. van den Bergh, MJ. Morwood, Iwan Kurniawan, Fachroel Aziz & Michael Storey. 2010. "Hominin from Flores, Indonesia by one million Years ago". NATURE, Vol. 464. Hal: 748-753.

Forestier, H., 2007. Ribuan Gunung Ribuan Alat Batu. Prasejarah Song Keplek Gunung Sewu, Jawa Timur. Kepustakaan Populer Gramedia, Ecole Francoise d’Extreme-otient Institut de Recherche pour le Developpement dan Puslitarkenas. Forum Jakarta-Paris.

Maringers, J., dan Th. Verhoeven. 1970. Die overflachenfunde ansdem fossil gebief von Mengeruda und Olabula anf Flores, Indonesia. Athropos 65 : 530

Koenigswald, GHR. von. 1936. "Early Palaeolithic stone implements from Java". Bull Raffles Museum. Singapore Vol 1. Hal: 52-62

Koenigswald, GHR. Von dan Ghost, A.K. 1973. Stone Implements from The Trinil Bed Koninklijk Nederlands Akademie van Wetensehappen, Proccedings Series B76 : 1 – 34

Sartono, S., 1979. The Age of the Vertebrata Fossils and Artefact from Cabenge in South Sulawesi. MGRSEA 5 : 65

Baca Juga: Homo Erectus Spesies Manusia Purba Paling Primitif dan Berotak Terkecil

Soejono, et al., 1984. “Jaman Prasejarah di Indonesia” Sejarah Nasional Indonesia I. edisi ke 4. Balai Pustaka.***

 

 

 

 

Editor: Vinsensius P. Huler

Sumber: arkenas.kemdikbud.go.id

Tags

Terkini

Terpopuler