Di sini yang menentukan kemenangan bukan kebenaran dan kebaikan tetapi berdasarkan besarnya rombongan dan tinggi rendahnya kedudukan masing masing pihak. Golongan yang kecil dan rendah pasti kalah meski mereka berada pada pihak yang benar dan baik. Kalau demikian, maka menjadi nyata bahwa primordialisme telah menjadi penyebab ketidakadilan.
Ketiga, primordialisme dalam Pilkada. Penyebab utama terjadinya primordialisme dalam Pilkada adalah primordialisme primitip seperti yang telah dikemukakan di atas dengan jangkauan yang lebih diperluas, semisal wilayah. Jadi, yang menjadi penyebab utama adalah primordialisme yang sudah berakar dalam masyarakat primitip.
Primordialisme primitip ini dipertebal oleh para pejabat yang bermental primitip. Misalnya, lebih memperhatikan keluarga dan kenalan, lebih mementingkan masyarakat dari wilayah asalnya dan mengabaikan kepentingan masyarakat wilayah lain. Dia lebih mengakomodir kebutuhan masyarakat yang memilihnya dan tidak memperhatikan kebutuhan masyarakat lainnya.
Ketika seseorang mendapat jabatan tinggi, maka dia akan memboyong anggota keluarga dan kenalannya masuk dalam jaringan kerja dengan memberikan kepada mereka posisi tertentu mulai dari tukang sapu dan penyedia kopi teh untuk snack. Keempat, bagaimana menurunkan tensi primordialisme kedaerahan dalam Pilkada. Apa yang dicatat di sini bukan hanya untuk kepentingan Pilkada tahun ini tetapi untuk jangka Panjang. Demi kepentingan ke depan, beberapa hal ini perlu dilakukan.
Pertama, populerkan slogan SATU LAMAHOLOT, TITE HENA mulai dari anak sekolah.
Kedua,memilih calon pejabat yang ada indikasi bermental modern dan tidak bermental primitip.
Menurut saya contoh dari pejabat yang bermental modern adalah Bapak Penjabat Doris Alexander Rihi yang sekarang sedang berkarya. Hal lain yang tidak kalah penting untuk dilakukan adalah rencana pembangunan pada wilayah wilayah yang menjadi prioritas harus disosialisasikan agar masyarakat tidak berpikir negatif bahwa yang satu dianak emaskan dan yang lain dianak tirikan. Ada satu pikiran yang muncul dari wilayah Ile Seburi bui Woka paga pele yang tentu tidak sepenuhnya diterima sebagai kebenaran adalah memilih calon yang sudah berada dalam keadaan "kenyang” agar kurang makan dan lebih banyak sisa untuk rakyat. Menurut pemikir itu, jika memilih calon yang masih berada dalam keadaan "lapar” pasti banyak makan dan sisa untuk rahyat hanya KETENEQ.
Baca Juga: Dapatkah Doris Alexander Rihi Jadi Bupati Flores Timur?
Waiula, 27 April 2024
Pater. Laurentius Useng Sogen,SVD, tinggal di Waiula Wulanggitang.***