Primordialisme Kewilayahan Dalam Pilkada, 'Dosa yang Sudah Menjadi Kebiasaan'

- 27 April 2024, 11:38 WIB
Pater Laurentius Useng Sogen, SVD
Pater Laurentius Useng Sogen, SVD /Dokumen Suara Lamaholot/

 

 

SuaraLamaholot.com - Pater. Laurentius Useng Sogen, SVD., menyoroti isu politik primordialisme atau politik identitas  yang disuguhi di "kerajaan media sosial" jelang Pilkada 2024. Situasi kontekstual yang terjadi tersebut memantik Imam perdana asal Desa Bubu Atagamu, Kecamatan Solor Selatan, Kabupaten Flores Timur, menumpahkan gagasannya dalam sebuah tulisan berjudul "Primordialisme Kewilayahan Dalam Pilkada, Dosa yang Sudah  Menjadi Kebiasaan".

Berikut isi lengkap tulisannya: 

PRIMORDIALISME KEWILAYAHAN DALAM PILKADA, 'DOSA YANG SUDAH MENJADI KEBIASAAN'

                                                    

  Kecenderungan untuk mementingkan orang dari wilayah sendiri adalah salah satu kenyataan yang selalu ada meskipun sesungguhnya secara prinsip tidak disukai. Orang orang dari warga agama tertentu menerima primordialisme sebagai dosa karena ia merupakan kata lain dari egoisme atau sifat ingat diri pada tingkatnya yang paling tinggi. Tulisan ini bertujuan mengupas primordialisme yang adalah dosa  idari beberapa segi.       

                                                 

Pertama, asal usul primordialisme. Primordialisme berasal dari hati setiap manusia dengan kadarnya yang berbeda. Secara sosial primordialisme sudah ada bersama adanya suku dan  kampung. Adalah kenyataan bahwa setiap kampung menampung banyak suku.

Dan setiap suku berjuang untuk mempertahankan keberadaannya, berjuang mempertahankan kepentingannya sendiri di depan suku suku lain. Demikian setiap kampung  berjuang untuk mempertahankan eksistensinya dan kepentingannya masing masing di hadapan kampung kampung lain dalam wilayahnya. Kampung kampung yang beraliansi juga memiliki primordialismenya sendiri di hadapan aliansi aliansi  atau kampung kampung yang berada di sekitarnya.                                                                                       Kedua, primordialisme itu dosa sosial. Alasan dari pernyataan ini adalah hal hal berikut ini. Pertama, ada kemungkinan cukup besar bisa terjadi bahwa orang yang dipilih itu kurang bermutu kalau dibandingkan dengan calon dari wilayah lain yang kurang masyarakat pendukungnya. Wilayah yang primordial akan menyumbangkan orang yang kurang bermutu untuk seluruh rahyat di Kabupaten ini.  Kedua, primordialisme menyebabkan terjadinya perselisihan, perpecahan  antar suku atau antar kampung. Ketiga, primordialisme menyebabkan orang dalam kelompok bisa membela yang salah dan memusnahkan yang benar. Kalau terjadi satu persoalan, orang tidak bertanya siapa yang salah dan siapa yang benar. Pada umumnya yang terjadi adalah pembelaan buta dan tidak adil langsung diberikan kepada anggota kelompok masing masing pihak  yang bermasalah. 

Di sini yang menentukan kemenangan bukan kebenaran dan kebaikan tetapi berdasarkan besarnya rombongan dan tinggi rendahnya kedudukan masing masing pihak. Golongan yang kecil  dan rendah pasti kalah meski mereka berada pada pihak yang benar dan baik. Kalau demikian, maka menjadi nyata bahwa primordialisme telah menjadi penyebab ketidakadilan.   

 Ketiga, primordialisme dalam Pilkada. Penyebab utama terjadinya primordialisme dalam Pilkada adalah primordialisme primitip seperti yang telah dikemukakan di atas dengan jangkauan yang lebih diperluas, semisal wilayah. Jadi, yang menjadi penyebab utama adalah primordialisme yang sudah berakar dalam masyarakat primitip.

Primordialisme primitip ini dipertebal oleh para pejabat yang bermental primitip. Misalnya, lebih memperhatikan keluarga dan kenalan, lebih mementingkan masyarakat dari wilayah asalnya dan mengabaikan kepentingan masyarakat wilayah lain. Dia lebih mengakomodir kebutuhan masyarakat yang memilihnya dan tidak memperhatikan kebutuhan masyarakat lainnya.

Ketika seseorang mendapat jabatan tinggi, maka dia akan memboyong anggota keluarga dan kenalannya masuk dalam jaringan kerja dengan memberikan kepada mereka posisi tertentu mulai dari tukang sapu dan penyedia kopi teh untuk snack.                                                                                                                                   Keempat, bagaimana menurunkan tensi primordialisme kedaerahan dalam Pilkada. Apa yang dicatat di sini bukan hanya untuk kepentingan Pilkada tahun ini tetapi untuk jangka Panjang. Demi kepentingan ke depan, beberapa hal ini perlu dilakukan.

Pertama, populerkan slogan SATU LAMAHOLOT, TITE HENA mulai dari anak sekolah.

Kedua,memilih calon pejabat yang ada indikasi bermental modern dan tidak bermental primitip.

Menurut saya contoh dari pejabat yang bermental modern adalah Bapak Penjabat Doris Alexander Rihi yang sekarang sedang berkarya. Hal lain  yang tidak kalah penting untuk dilakukan  adalah rencana pembangunan pada wilayah wilayah yang menjadi prioritas harus disosialisasikan agar masyarakat tidak berpikir negatif bahwa yang satu dianak emaskan dan yang lain dianak tirikan. Ada satu pikiran yang muncul dari wilayah Ile Seburi bui Woka paga pele yang tentu tidak sepenuhnya diterima sebagai kebenaran adalah memilih calon yang sudah berada dalam keadaan "kenyang” agar kurang makan dan lebih banyak sisa untuk rakyat. Menurut pemikir itu, jika memilih  calon yang masih berada dalam keadaan "lapar” pasti banyak makan dan sisa untuk rahyat hanya KETENEQ.

Baca Juga: Dapatkah Doris Alexander Rihi Jadi Bupati Flores Timur?

                                                                                     Waiula, 27 April 2024 

Pater. Laurentius Useng Sogen,SVD, tinggal di Waiula Wulanggitang.***

 

Editor: Vinsensius P. Huler


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah