Kisah Siswi Cleaning Service di Flores Timur, Gertha : 'Ae Mata Gando' Baca Cerita Patrisia

15 Juni 2024, 15:00 WIB
Momen saat Patrisia Ina Seran dan Muhammad Soleh Kadir melakukan silahturahmi di kediaman Gertha /Dokumen Muhammad Soleh Kadir/

 

 

 

SuaraLamaholot.com -  Di pekan kedua bulan Juni tahun 2024, Ana Yuliana Getruda De Rosari menatap lekat tulisan Muhammad Soleh Kadir berjudul "Jadi Juara 1, Siswi Cleaning Service di Sekolah Ini Tunaikan Wasiat Almahrhumah Ibunya". Tulisan yang diunggah di Grup Facebook Suara Flotim Rabu 13 Juni 2024 itu, tanpa sengaja bertandang di layar ponselnya saat ia tengah berselancar di grup itu. Lamat-lamat segenap pikiran, konsentrasi dan tatapan seolah menghipnotisnya untuk bersabar sejenak sembari menyeduh secarik rasa penasaran yang kian membuncah

 

Dalam hening, Ana Yuliana Getruda De Rosari  pun mengusap layar ponselnya  dengan jemari tanganmya ke arah atas seraya melahap  tulisan itu

 

Jadi Juara 1, Siswi Cleaning Service di Sekolah Ini Tunaikan Wasiat Almarhumah Ibunya

Suasana haru menyelimuti acara Penetapan Kelulusan dan Pelepasan Siswa Kelas 9 SMPN 1 Adonara Timur, Kabupaten Flores Timur kemarin. Bagaimana tidak, Patrisia, yang didaulat menyampaikan sambutan mewakili siswa yang lulus, terlihat sesegukan berbicara di atas mimbar. Sesekali, siswi kelas 9A ini menghentikan pembicaraannya. Ia lantas mengatur napas, seraya mengusap rinai-rinai air mata yang sedari tadi turun membasahi pipinya. Kemudian, ia kembali melanjutkan pidatonya. 

Patrisia Ina Seran

Siswi yang mengenakan toga, samir (kalung wisuda), selendang lulusan terbaik dibalut jas almamater berwarna biru itu, tampak berusaha setenang mungkin untuk melanjutkan kalimat-kalimatnya. Namun, bulir-bulir air mata yang luruh dari kedua kelopak matanya, gugur tak terkendali. Beberapa lembar tisu yang disodorkan oleh adik kelasnya dari arah samping, ia gunakan untuk mengusap air mata yang terus saja turun bagai guyuran hujan. Namun, itu tidak bisa menghentikan suasana hatinya yang semakin nelangsa.

 

Suasana di bawah tenda itu pun mendadak sunyi dan haru. Beberapa undangan tampak tertunduk dan ikut menitikkan air mata mendapati situasi itu. Saya yang berdiri di bawah pohon ketapang di luar tenda, juga ikut menitikkan air mata. Sebab, ada banyak hal yang saya tahu tentang kehidupan anak ini. Tentang sulitnya ia bersekolah. Tentang keinginannya yang kuat untuk bersekolah namun kondisi keluarganya yang tidak memungkinkan. Sebuah benturan antara harapan dan realitas yang sangat perih.

 

Namanya Patrisia Ina Seran. Sehari-hari, kami berdua biasa berlomba untuk datang pagi ke sekolah. Kadang saya duluan, lebih banyak ia yang duluan bersama Pak Muhammad Fill Lamarobak, guru Mulok di sekolah kami. Padahal, rumahnya jauh di Purinara yang jaraknya kisaran belasan kilo ke sekolah. Tentu, ia harus menumpang ojek pagi-pagi kalau ada uang di tangan. Tapi lebih banyak, ia berjalan kaki dari arah belakang kampung, melewati Wailingo, Waiburak, Waiwerang, Wotan, Tobi Tello, Merdeka, Perintis, hingga tiba di sekolah. Kendatipun begitu, hampir tidak pernah saya dapatkan anak ini terlambat ke sekolah.

 

“Aduh, Pak saya lebih dulu hari ini, Pak!” ganggunya ketika saya tiba di sekolah selang beberapa menit setelah ia tiba dan langsung menyalimi tangan saya. 

 

Jika Anda berkunjung di sekolah kami pagi hari sekali, maka Anda akan mendapati siswi yang sopan, ramah, dan lembut tutur katanya ini, sedang menyapu lantai ruang guru dan tata usaha. Setelah itu, ia akan mengepel dan menata kembali kursi meja yang ada di setiap ruangan ini. Usai ini, siswi yang juga merupakan Jurnalis Spensa Adotim TV ini akan membantu para guru untuk mengatur barisan siswa dalam mengikuti upacara apel pagi. 

 

Sekolah memang sengaja memberi Patrisia kesempatan untuk menjadi siswa yang membantu melakukan kebersihan di sekolah pagi hari. Konsekuensinya, jika ada tagihan uang sekolah, maka lembaga ini akan membayarkan tagihan itu untuk Patrisia. Agar, Patrisia hanya fokus belajar, tidak usah cari uang untuk bayar tagihan ini. Di satu sisi, sekolah ingin melatih jiwa peduli, kerja keras, tanggung jawab, dan disiplin kepadanya. Di lain sisi, dirinya mendapatkan keuntungan dapat dibantu sekolah jika ada pembayaran-pembayaran tertentu.

 

Patrisia memang harus menangis di atas podium. Saya memahami itu. Barangkali, ia sedang mengingat-ingat kembali suka dukanya selama menempuh pendidikan di sekolah ini.

 

Saya teringat akan komitmen yang pernah ia sampaikan kepada saya beberapa waktu lalu saat screning anggota Pramuka. Saya melakukan Coaching dengan pola TIRTa. Patrisia pun bercerita, tentang kehidupannya sehari-hari di rumah. Tentang hidupnya bersama ibunya sendiri karena ayahnya pergi meninggalkan mereka. Ia juga sering membantu ibunya memetik sayuran dan buah di kebun siang hari. Lalu bersama ibunya berjualan sayur dan buah itu di Pasar Waiwerang saban sore. Dulu, jika Anda melewati Pasar Waiwerang, maka Anda bisa mendapati Patrisia dan Mamanya jualan di pinggir badan jalan raya samping Koramil.

 

Titik balik kebangkitan Patrisia adalah ketika Ibunya meninggal dunia. Patrisia benar-benar hancur. Betapa tidak, dirinya hanya memiliki ibunya saja di rumah. Ayahnya tidak tinggal bersama mereka dan sudah pergi ke kampung yang sangat jauh. Saudara lelakinya telah merantau ke luar yang hampir tidak pernah mengirimi mereka uang. Patrisia merasa hidupnya sudah putus harapan. 

 

Atas kesepakatan keluarga, Patrisia harus dititipkan tinggal bersama adik perempuan ibunya yang sudah berkeluarga dengan kehidupan yang juga sama memperihatinkan. Patrisa benar-benar terpukul atas peristiwa ini. Di sinilah, Patrisia yang sebelumnya tidak aktif di sekolah, mulai aktif ikut berbagai kegiatan, termasuk Pramuka, Komunitas Literasi, dan ekstrakurikuler lainnya.

 

“Pak, suatu kali saya punya Emak datang ambil raport. Pulangnya Emak panggil saya tanya. Kenapa saya tidak masuk lima besar? Kenapa prestasi saya turun? Saya sempat berikan alasan-alasan untuk bela diri saat itu. Emak lalu minta saya untuk belajar rajin lagi supaya bisa juara lima besar. Setelah Emak meninggal, saya ingat itu saya sakit hati sekali,” ceritanya kala itu dengan tangisan yang pecah di depan meja guru. 

 

“Kalau gitu, Patrisia harus janji jadi juara 1 di saat kelulusan nanti. Ini sebagai cara Patrisia untuk membalas kebaikan Emak dan buat Emak bahagia di surga sana,” kata saya membangun komitmen bersama Patrisia yang diikuti dengan ucapan komitmen darinya.

 

Dan hari ini, ketika melihat Patrisia menangis di atas panggung, saya berucap dalam hati. “Terima kasih, Nak. Kamu telah menunaikan wasiat ibumu. Walau saat ini engkau sedang menangis di atas mimbar, ibumu sedang tersenyum memandangmu dari surga”.

Setelah  tuntas membaca tulisan itu, mendadak raut wajah  Gertha demikian sapaan Ana Yuliana Getruda De Rosari berubah sekejap. Bibir perempuan paruh baya ini perlahan retak. Sejurus kemudian,  matanya berkaca-kaca menatap handphone di tangan kanan. 

" Ae mata gando (saya menangis,red) saat membaca cerita itu," ucap Gertha menumpahkan gemuruh di dadanya

 

Beberapa detik sesudahnya,  tangan kirinya mengais-ngais tisu yang ada di atas meja ruang tamu rumah untuk menyeka kristal bening yang  mengalir di kedua sisi pipinya. Di luar matahari menggertak keras. Cuaca yang lazim terasa di Kota Reinha, Kabupaten Flores Timur.

 

Perempuan yang kesehariannya berprofesi sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT) ini masih belum mengalihkan sorotan mata dari layar handphone. Karya tulisan Muhammad Soleh Kadir mengetuk kalbunya lantaran menyiratkan pesan seluas samudera, getir yang tak terbatas dan semangat yang selalu hangat.

Sesudahnya, sambung Gertha kepada suaralamaholot.com via layanan whatsApp, Jumat 14 Juni 2024,  dirinya mengirim pesan via messenger kepada Muhammad Soleh Kadir.

 

 "Pak, boleh saya minta nomornya Patrisia?"

"Ibu, Patrsia tidak punya nomor. Kalau ibu mau saya bisa ke rumahnya baru ibu telepon,"ucap Gerta menirukan kembali percakapannya dengan Muhammad Soleh Kadir.

"Pak Guru, saya mau Patrisia sekolah. Kalau Patrisia mau, Patrisia sekolah di Larantuka dan tinggal bersama saya. Saya berpikir biar pun saya berkekurangan tapi saya bertekad untuk menyekolahkan Patrisia,"timpal Gertha membalas
 

Terpisah, Muhammad Soleh Kadir saat dikonfirmasi wartawan media ini Jumat 14 Juni 2024 malam mengaku mengenal baik Patrisia

 

"Sebagai guru dari Patrisia, saya mengenal baik anak ini. Dia anak pintar, sopan, rajin, dan tanggung jawab. Namun, kondisi ekonomi keluarganya membuat dirinya tidak bisa menikmati indahnya masa sekolah seperti teman-teman seusianya. Alhasil, anak ini harus rela membantu kebersihan di sekolah dengan tujuan dapat memperoleh bantuan jika ada tagihan uang sekolah padanya. Alhamdulillah, anak ini dapat menyelesaikan pendidikan 3 tahun di sekolah kami SMPN 1 Adonara Timur dengan baik. Ini juga berkat wasiat Ibunya sebelum meninggal yang meminta dirinya untuk dapat meraih prestasi tinggi, menjawab pertanyaan ibunya sebelum meninggal dunia," kata Muhammad Soleh Kadir saat

Lebih lanjut dikatakannya, karena dekat dengan anak ini, kami beberapa guru sering ke rumahnya. Kami tahu persis seperti apa kondisi ekonomi mereka. Maaf, sangat memprihatikan. Sehingga, jelas anak ini tidak bisa melanjutkan pendidikan ke SMA. Bisa dibayangkan betapa sakitnya, kita juara 1 tapi tidak bisa lanjut SMA hanya karena Bapak Mama te ada dan te ada orang bantu ongkos sekolah. Perih sekali tentunya. 

Baca Juga: Car Free Day di Flores Timur, Simak Implikasi Positifnya

"Inilah yang melatarbelakangi saya menulis cerita di Facebook. Terselip doa di dalam tulisan ini, semoga ada orang baik hati yang terketuk hati untuk membantu anak ini. Alhamdulillah, Tuhan kirim Pak Ahmad Taher, Ibu Gerta, Prof. Simon, dan Bapak Diston Fernandez untuk bantu. (Tulisan lengkap ini bisa dibaca di postingan saya yang terakhir beberapa menit lalu di Suara Flotim),"pungkasnya.***

 

Editor: Vinsensius P. Huler

Tags

Terkini

Terpopuler