Semana Santa; Antara Aturan, Sampah dan Lingkungan

- 30 Maret 2024, 23:48 WIB
Sepanjang mata memandang, nyaris tak ada sampah plastik yang berceceran dan berserakan.
Sepanjang mata memandang, nyaris tak ada sampah plastik yang berceceran dan berserakan. /Dokumen narasumber/
 
 
 
 
 
SuaraLamaholot.com - Kamis Putih (28/03/2024) pagi, saya bersama istri dan kedua anak yang berusia delapan dan tiga tahun- berziarah ke Kapela Tuan Ma dan Tuan Ana untuk menjalankan tradisi ‘cium Tuan.’ Kami berpikir kalau datangnya agak pagi, pasti antriannya belum terlalu banyak dan panjang. Ternyata kami salah, antriannya sudah mengular hingga ke jalan raya. Bahkan peziarah yang belum mengantri pun masih duduk menunggu di tepi trotoar. 
 
Beruntung, kami punya dua anak yang bisa kami ‘manfaatkan’ untuk mendapat pelayanan premium. Hhehe. Ternyata untuk orang tua yang memiliki anak kecil diberikan akses terlebih dahulu untuk menjalankan tradisi ‘Cium Tuan.’ Kami diarahkan oleh petugas yang begitu ramah untuk berjalan melalui jalan setapak di samping antrian. Selesai di kapela Tuan Ma, kami bergerak ke kapela Tuan Ana. Di sini antriannya juga meluber hingga ke jalan raya. Namun, sepintas mata rasanya peziarah tahun ini jumlahnya tidak sebanyak tahun lalu. Mungkin cuaca belakangan ini yang kurang bersahabat yang memaksa para peziarah untuk tidak datang mengikuti prosesi religi Semana Santa ini. 
 
Di kapela Tuan Ana, kami pun ikut mengantri –namun berharap diberi akses premium lagi karena kami punya anak kecil. Di depan kami, ada ibu-ibu yang juga mengantri bersama anak perempuannya yang masih kecil. Seorang petugas kemudian mendekati ibu itu dan mengarahkannya untuk boleh terlebih dahulu diijinkan masuk ke kapela melalui pintu samping timur. Dan, kami pun memanfaatkan kesempatan itu, berjalan di belakang si ibu. Punya anak memang ada saja rejekinya. Hehe.. 
 
Hemat saya, kalau saja ada tanda atau tulisan yang mengijinkan ‘kaum rentan’ seperti ibu hamil, anak-anak, orang sakit, disabilitas dan lain sebagainya untuk mengakses melalui jalur khusus, saya pikir petugas tidak perlu repot-repot mendatangi peziarah tertentu untuk mengarahkannya melalui jalur khusus tadi. Dengan jumlah peziarah yang banyak, saya kira petugas pasti kesulitan juga untuk memperhatikan satu per satu peziarah yang mengantri. 
 
Soal sandal misalnya, tidak ada tanda atau tulisan yang menerangkan kepada peziarah untuk menanggalkan sendalnya di titik tertentu. Hal ini memang sepeleh, tapi bagi peziarah hal itu cukup penting untuk memastikan mereka tidak melanggar aturan yang ada. Rasanya tidak nyaman juga kalau tiba-tiba ditegur kalau ada peziarah yang lupa menanggalkan sendalnya, karena memang tidak ada tulisan atau tandanya. 
 
Setelah dari kapela Tuan Ana, kami ke kapela Tuan Meninu. Jujur saja, ini kali pertama kali kami sekeluarga ke kapela yang satu ini. Kapela ini mungkin tidak sepopuler dua kapela sebelumnya, namun kesan pertama ke kapela ini sungguh luar biasa karena BERSIH! Ya, di sini, di sepanjang jalan utama menuju ke kapela, banyak tempat sampah berupa karung-karung yang dipajang di sisi jalan. Kira-kira setiap lima atau sepuluh meter, terdapat satu tempat sampah. Ada juga gentong sampah di beberapa titik termasuk di sisi jalan menuju kapela. Sepanjang mata memandang, nyaris tak ada sampah plastik yang berceceran dan berserakan. Ini jadi pemandangan yang luar biasa menarik dan menyenangkan, bahwa prosesi ini tidak sekedar jadi kesempatan membina rohani, namun juga untuk menjaga dan merawat lingkungan sebagai bagian dari ciptaanNya. Saya lalu membayangkan bila saja kesadaran seperti ini juga diwujudkan dalam berbagai event yang kita adakan semisal pesta Sambut Baru, pesta nikah, atau tahbisan imam – misalnya. Saya yakin perlahan kesadaran itu akan tumbuh dan berkembang. 
 
Pemandangan yang cukup menarik lainnya adalah ketika kami berdiri di pinggir pantai sembari memperhatikan prosesi laut yang lewat, saya juga perhatikan teman-teman panitia berbaju hitam berjalan menyisir pantai sembari membersihkan pesisir pantai, memastikan jalan Tuan Meninu selalu bersih saat dilewati. Mereka memungut sampah-sampah plastik yang terapung di tepi pantai. Ini nampaknya menjadi ekspresi kesadaran iman yang –menurut saya, luar biasa maknanya. Harusnya ini tidak saja menjadi tugas teman-teman panitia, tapi harus jadi tanggung jawab seluruh umat, peziarah dan masyarakat lainnya. Sebelum Tuan Meninu diarak ke Larantuka, alangkah baiknya umat dan peziarah lainnya di pinggir pantai – diarahkan untuk membersihkan pesisir pantai sebisanya. Soal teknis sosialisasinya, saya yakin teman-teman panitia dan pihak terkait lebih tahu dan paham soal ini.
 
Kembali ke kapela Tuan Meninu tadi, kalau boleh membandingkan, situasi yang bersih dan steril dari sampah plastik di kapela Tuan Meninu ini berbanding terbalik dengan situasi di sekitaran kapela Tuan Ana dan patung Pieta. Nampak tak ada tempat sampah di sana, baik berupa kantong ataupun karung. Hal ini kemudian menyebabkan sampah berserakan di mana-mana, botol minuman air mineral dibiarkan begitu saja di beberapa titik. Belum lagi di jalanan, sampah plastik begitu banyak ditemukan, sepertinya jalanan menjadi tempat sampah umum. 
 
Dua situasi ini kemudian memberikan kita pemahaman dan kesimpulan sederhana bahwasanya kesadaran kita dalam menjaga lingkungan dan mengelolah sampah masih sebatas ‘ada tempat sampah, lingkungan jadi bersih.’ Beda dengan Jepang – misalnya yang jarang punya tempat sampah di area publik, namun lingkungannya tetap bersih. Ya, karena warganya sudah punya kesadaran lingkungan yang sudah sangat tinggi. Mereka akan membawa sampah yang mereka hasilkan, entah disimpan di tas, saku baju dan kantong yang mereka bawa sendiri hingga menemukan tempat sampah untuk meletakannya di sana. Lagi-lagi, kita bukan Jepang. Kita masih di Indonesia, Flores, dan Larantuka. Kesadaran seperti ini masih sangat jauh, sejauh Jepang dari Larantuka. 
 
Namun, secara umum, pelaksanaan rangkaian prosesi Semana Santa di Larantuka tahun ini berjalan dengan baik, nyaman dan lancar. Panitia penyelenggara, baik dari pihak Gereja, suku semana dan Konfrereria maupun dari Pemda Flores Timur telah sangat baik dan maksimal menyelenggarakan dan mendukung pelaksanaan Semana Santa. 
 
Catatan-catatan kecil dari persoalan akses khusus kaum rentan hingga ke tempat sampah ini seyogyanya dijadikan sebagai satu dua hal yang dapat ditingkatkan dan diperbaiki lagi ke depannya.  
 
Semana Santa yang kita banggakan ini tidak saja menjadi warisan religi yang bersejarah, namun juga menjadi ekspresi iman terhadap masa depan dunia yang lebih baik, sehingga Semana Santa pun dimaknai sebagai prosesi iman untuk masa depan lingkungan yang lebih baik. 
 
Amin, dan semoga.***
 
 
 
 

Editor: Vinsensius P. Huler

Sumber: Narasumber


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah