SuaraLamaholot.com - Kasus dugaan pelanggaran Pemilu yang diduga dilakukan Kades Kalike Aimatan dihentikan di tingkat penyidikan (SP3) oleh Gakkumdu Flores Timur. SP3 terjadi lantaran unsur pada masa kampanye tidak terpenuhi,
"Karena tindakan keberpihakan kepada 3 orang calon tersebut dilakukan pada masa tenang sehingga unsur pada masa kampanye yang tidak terpenuhi," ungkap Ahli Hukum Pidana Pemilu, Mikhael Feka, kepada suaralamaholot.com via layanan WhatsApp, Senin 8 April 2024
Lebih rinci diterangkannya, semua analisis kasus berbasis regulasi. Dalam kasus tersebut digunakan Pasal 490 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu
Baca Juga: Gakkumdu Flores Timur SP3 Dugaan Pelanggaran Pemilu Kades Kalike Aimatan, Apa Itu Gakkumdu?
"Substansi Pasal 490 adalah melarang kepala desa atau sebutan lain untuk membuat keputusan atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan peserta Pemilu tertentu pada masa kampanye. Rumusan Pasal 490 dibatasi tempus delictinya pada masa kampanye. Perbuatan Kades Tuakepa dan Kades Kalike pada dasarnya adalah tidak jauh berbeda namun perbedaan pada tempus delicti. Kewenangan Gakkumdu juga berbasis aturan dan tidak bisa menciptakan norma baru selain menjalankan norma yang sudah ada,"terang Akademisi Fakultas Hukum UNWIRA Kupang yang kini sedang Studi S3 Hukum di UNDIP Semarang itu.
Lebih lanjut diterangkannya, unsur Pasal 490 terdiri atas 4 poin. Pertama, unsur Kepala Desa atau sebutan lain; Kedua, unsur dengan sengaja; Ketiga, unsur membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu; Keempat, unsur dalam masa kampanye.
"Unsur 1, 2 dan 3 terpenuhi tapi unsur ke 4 tidak terpenuhi dalam kasus ini karena tempus delicti pada masa tenang bukan pada masa kampanye (vide Unsur ke 4),"sebutnya
Ia menambahkan, semua unsur dalam Pasal 490 itu sama; tidak ada yang superior dan inferior. Hanya dalam hukum pembuktian pidana semua unsur itu harus bisa terbukti semua.
"Satu saja unsur tidak terbukti menggugurkan unsur yang lainnya. Itu prinsip pembuktian dalam hukum pidana,"beber Mikhael Feka.
Sedangkan, ujarnya, tempus delicti
itu terkait dengan waktu dilakukan suatu pelanggaran hukum.
"Kepala Desa Tuakepa yang divonis 3 bulan karena dia melakukan pada masa kampanye, sedangkan kades Kalike Aimatan melakukan pada pada masa tenang sehingga dari segi waktu Pasal 490 tidak menjangkau sampai masa tenang,"terangnya.
Saat disinggung terkait dari dua kasus itu mana yang kategori berat dan ringan dalam kaitan dengan tempus delicti, Mikhael Feka menyebut kategori berat ringan kedua perbuatannya sama derajatnya,
"Hanya saja yang satu dilakukan pada masa kampanye sehingga memenuhi unsur Pasal 490. Sedangkan, yang satu dilakukan pada masa tenang yang mana Pasal 490 tidak menjangkau masa tenang. Ini masukan juga agar pembuat UU merevisi UU 7 Tahun 2017,"katanya.
Menurut Mikhael Feka, dalam UU Nomor 7 Tahun 2017, larangan pada masa tenang ada dua hal pokok, yakni kampanye dan politik uang.
"Namun ketika larangan tersebut masuk ke dalam unsur kampanye ada pembatasan-pembatasan tertentu misalnya kalau kampanye pada masa tenang maka akan dikenakan sanksi kampanye di luar jadwal sebagaimana diatur dalam Pasal 492 namun tidak semua bentuk kampanye dapat dipidana karena hanya dibatasi pada kampanye iklan dan rapat umum," ucapnya sembari menyebut di tataran praktis ada banyak kelemahan.
"UU 7 2017 banyak kelemahannya dalam tataran praktis,"imbuhnya.***