Selain itu, selama verifikasi usulan luas hutan adat Aceh, pihaknya bukan hanya menggunakan proses pendekatan teknokratik kehutanan tetapi juga pendekatan antropologi dan sosiologi yang mendalam.
Baca Juga: Hoaks! Prabowo Cekik Wamentan, Begini Klarifikasi Lengkapnya
"Semua didiskusikan secara terbuka bersama masyarakat dan disepakati luas serta fungsinya, karena ada juga yang berfungsi lindung selain sebagian besar sebagai ekonomi untuk kesejahteraan MHA itu sendiri," ungkapnya.
Bahkan, pihaknya juga melakukan proses edukasi mengenai peta wilayah adat untuk mencari "emik" atau pandangan asli dari masyarakat mengenai wilayah adatnya.
Hal inilah yang kemudian menjadi bahan pertimbangan penetapan luas hutan adat.
"Menemukan kategori lokal sangat penting. Ada tiga hal penting dalam masyarakat mukim dan gampong yaitu kebun, sawah, dan ternak," terang Prasetyo.
Dalam kesempatan ini, Ketua Tim Peneliti Hutan Adat Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh Teuku Muttaqin Mansur menegaskan pihaknya tidak mempersoalkan penetapan hutan adat Aceh yang jumlahnya tidak sesuai dengan usulan.
Karena, hal paling penting adalah negara mengakui mukim sebagai masyarakat hukum adat dan subjek, lalu pada masa yang sama memiliki objek berupa harta kekayaan mukim. Salah satunya hutan adat yang baru ditetapkan ini.
Baca Juga: Dibalik KTT AIS, Hal Utama yang Urgen Yakni Keberlangsungan Laut Indonesia