Selain itu, para pekerja kamar mayat di Rumah Sakit Nasser itu adalah bagian dari upaya internasional termasuk para dokter dan pejabat kesehatan di Gaza serta akademisi, aktivis dan relawan di seluruh dunia untuk memastikan korban jiwa tidak menjadi korban dari kondisi peperangan yang semakin mengerikan.
Para pekerja tersebut, beberapa di antaranya merupakan sukarelawan, tidak memiliki cukup makanan atau air untuk keluarga mereka, tetapi mereka tetap bertahan karena mencatat jumlah warga Palestina yang meninggal merupakan hal yang penting bagi mereka, kata Hamad Hassan Al Najjar.
Bahkan Al Najjar yang berusia 42 tahun itu mengatakan dampak psikologis dari pekerjaan itu sangat besar.
Sambil memegang selembar kertas putih dengan tulisan tangan informasi tentang salah satu korban tewas, dia mengungkapkan bahwa dirinya sering terkejut saat menemukan jenazah teman atau kerabatnya yang sudah rusak parah saat dibawa masuk ke ruang mayat.
Baca Juga: Jelang Debat Perdana ketiga Cawapres, Presiden RI Harapkan bisa Berlangsung Ramai
Misalnya, jenazah direktur kamar mayat, Saeed Al-Shorbaji, dan beberapa anggota keluarganya, tiba pada awal Desember, setelah mereka terbunuh dalam serangan udara Israel, ungkap Al Najjar.
“Dia adalah salah satu pilar kamar mayat ini,” kata Al Najjar, dengan raut wajah dipenuhi kesedihan dan kelelahan.
Ia juga mengemukakan bahwa mempersiapkan jenazah anak-anak yang meninggal, beberapa di antaranya kehilangan kepala atau anggota badan, adalah tugas yang paling menyakitkan.