“Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat bagi kami
adalah kumpulan campur-baur dari mana dunia baru yang sehat dapat dilahirkan.”
Baca Juga: Proyek Peningkatan Jalan yang Dikerjakan CV Lembata Jaya Diduga Bermasalah
Para pelajar ini jelas sadar bahwa ke-Indonesiaan mereka tidak semata-mata karena kulit mereka yang sawo matang, rambut mereka yang hitam atau tulang pelipisnya yang menjorok ke
depan, tetapi lebih banyak ditunjang oleh apa yang diutarakan wujud pernyataan hati dan pikiran mereka sendiri.
Baca Juga: Heboh! Video Syur Karyawan Bank di NTT Tersebar di Medsos, Tukang Service HP Ditangkap Polisi
Dengan demikian, revolusi bagi mereka adalah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yang harus dihancurkan. Demikian mereka berpendapat, bahwa revolusi di tanah air belum selesai.
Baca Juga: Masyarakat NTT Diminta Waspada, Bibit Siklon Tropis 96S di Sekitar Laut Sawu
Sementara itu, hidup di antara sejumlah guru yang adalah pastor keturunan Belanda semakin memperkaya wawasan globalnya.
Berbaur sambil menjalin persahabatan dengan semua kawan baru dari berbagai suku bangsa tersebut jelas mempengaruhi pola pikir yang semula Flores sentris, berubah menjadi Indonesia sentris.